Minggu, 18 Maret 2012

UPAYA PEMULIHAN EKONOMI INDONESIA


NAMA : DENIS FIRMANSYAH
NPM    : 28211306
KELAS : 1EB23

BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya.  Salah  satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan  tersebut.  Bahkan  sebagian  masyarakat  sering berharap terlampau banyak dari sektor moneter dan perbankan dalam memecahkan  berbagai masalah ekonomi, termasuk masalah yang timbul dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia dewasa ini. Kebijakan moneter dan perbankan sering dipandang mempunyai kekuatan yang lebih dari  apa  yang  secara  efektif  dapat  dicapai  dengan  kebijakan tersebut. Disatu sisi hal ini dapat dipahami mengingat sektor moneter dan perbankan memang mempunyai fungsi yang mampu memberi pelayanan pada bekerjanya sektor riil; baik kegiatan investasi, produksi, distribusi maupun konsumsi.  Namun, sampai pada tahap tertentu, harapan yang terlalu banyak tersebut perlu diluruskan.  Sektor moneter-perbankan, dan karenanya juga kebijakan moneter-perbankan, hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan pembangunan nasional yang secara bersama- sama dalam suatu sinergi diarahkan untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan maupun perumusan kebijakan moneter-perbankan harus senantiasa ditempatkan pada konteksnya sebagai bagian dari kebijakan ekonomi nasional. Pemahaman ini menjadi semakin penting dalam kaitannya dengan arah kebijakan ekonomi nasional  kita dewasa ini yang diarahkan  pada upaya pemulihan ekonomi pasca-krisis dengan menitikberatkan pada program stabilisasi dan reformasi ekonomi.

Tulisan ini  akan  mencoba  untuk  mengkaji  strategi  kebijakan  moneter  dan perbankan  yang tepat dalam  mendukung  upaya  pemulihan  perekonomian  nasional. Untuk itu, pada bagian awal akan diuraikan secara kilas balik mengenai sebab-sebab

terjadinya krisis dan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Selanjutnya  akan diuraikan mengenai langkah-langkah yang ditempuh untuk memulihkan perekonomian nasional    melalui   kebijakan      moneter-perbankan  dengan fokus  pada  upaya pemberdayaan perbankan. Pada bagian akhir secara khusus akan dikaji mengenai UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan kuatnya nuansa   “independensi   serta   implikasinya   pada   pelaksanaan   tugas-tugas   Bank Indonesia di bidang moneter dan perbankan.



1.1Upaya pemulihan ekonomi melalui strategi kebijakan moneter – perbankan dan independensibamk indonesia
            Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah  satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan tersebut. Bahkan sebagian masyarakat sering berharap terlampau banyak dari sektor moneter dan perbankan dalam memecahkan berbagai masalah ekonomi, termasuk masalah yang timbul dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia dewasa ini. Kebijakan moneter dan perbankan sering dipandang mempunyai kekuatan yang lebih dari  apa yang secara efektif dapat dicapai dengan kebijakan tersebut. Disatu sisi hal ini dapat dipahami mengingat sektor moneter dan perbankan memang mempunyai fungsi yang mampu memberi pelayanan pada bekerjanya sektor riil; baik kegiatan investasi, produksi, distribusi maupun konsumsi.  Namun, sampai pada tahap tertentu, harapan yang terlalu banyak tersebut perlu diluruskan.  Sektor moneter-perbankan, dan karenanya juga kebijakan moneter-perbankan, hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan pembangunan nasional yang secara bersama-sama dalam suatu sinergi diarahkan untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan.
Oleh karena itu, pembahasan maupun perumusan kebijakan moneter-perbankan harus senantiasa ditempatkan pada konteksnya sebagai bagian dari kebijakan ekonomi nasional. Pemahaman ini menjadi semakin penting dalam kaitannya dengan arah kebijakan ekonomi nasional  kita dewasa ini yang diarahkan pada upaya pemulihan ekonomi pasca-krisis dengan menitikberatkan pada program stabilisasi dan reformasi ekonomi.
Tulisan ini  akan mencoba untuk mengkaji strategi kebijakan moneter dan perbankan yang tepat dalam mendukung upaya pemulihan perekonomian nasional. Untuk itu, pada bagian awal  akan diuraikan secara kilas balik mengenai sebab-sebab terjadinya krisis dan dampaknya terhadap perekonomian nasional. Selanjutnya  akan diuraikan mengenai langkah-langkah yang ditempuh untuk memulihkan perekonomian nasional melalui kebijakan moneter-perbankan dengan fokus pada upaya pemberdayaan perbankan. Pada bagian akhir secara khusus akan dikaji mengenai UUNo. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan kuatnya nuansa “independensi” serta implikasinya pada pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia di bidang moneter dan perbankan.


Ø  Akar permasalahan krisis dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.

Akar permasalahan krisis ekonomi, Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan akibat dari semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global, dimana pada saat yang sama perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik. Di satu sisi, keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas  dan berbagai langkah deregulasi yang ditempuh Pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik yang bergerak terus secara dinamis. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang masuknya modal asing dalam jumlah besar, khususnya dari sektor swasta. Berbagai perkembangan ini, ditambah dengan  proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi factor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, dinamisme perekonomian makro yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha (mikroekonomi). Hal ini dapat dilihat antara lain dari rendahnya kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintah akibat kurangnya transparansi dan konsistensi serta lemahnya informasi.  Selain itu, kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya, baik oleh sektor swasta maupun pemerintah, juga merupakan cerminan dari menurunnya efisiensi pengelolaan dunia usaha.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerentanan (fragility) yang terdapat dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Terdapat lima faktor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi, yaitu:3
·  Pertama, adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industry perbankan telah menimbulkan  moral hazard  di kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi.

·  Kedua, sistem pengawasan oleh bank sentral  kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan.

·  Ketiga, besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank ( connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.

·  Keempat, relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah  mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi risiko yang berlebihan

·  Kelima, kurang  transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol social dan menciptakan disiplin pasar (market discipline). 

Dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia Dengan kondisi fundamental ekonomi mikro seperti tersebut di atas, gejolak nilai tukar, yang sebenarnya hanya merupakan efek penularan (contagion effect) dari yang terjadi di Thailand, telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah. Kondisi stagflasi dan instabilitas mewarnai ekonomi Indonesia, khususnya pada periode selama tahun 1998. Penurunan nilai tukar rupiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke sumber  dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestic pada barang dan jasa impor.  Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi4 kewajiban-kewajiban luar negeri yang segera harus dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai ekonomi Indonesia pada saat itu sebagai dampak semakin banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas, atau bahkan menghentikan produksinya. Pada saat yang bersamaan, kenaikan laju inflasi yang tinggi (77,6%) dan penurunan penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi (kontraksi 13.7%) telah mengakibatkan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat serta memperluas kantong-kantong kemiskinan.

Di sektor perbankan, depresiasi rupiah yang kemudian diikuti oleh kenaikan suku bunga sebagai konsekuensi upaya penstabilan harga dan nilai tukar rupiah telah memperburuk kinerja debitur sehingga kredit bermasalah semakin membengkak. Bank-bank terpaksa menanggung marjin bunga bersih (net interest margin) negatifsebagai akibat peningkatan suku bunga  dana yang lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan suku bunga pinjaman. Situasi tersebut telah meningkatkan kerugian bank, yang  pada akhirnya mengikis permodalan bank sehingga hampir semua bank mengalami kekurangan modal. Terpuruknya sektor perbankan yang mengakibatkan terganggunya fungsi intermediasi membawa dampak yang lebih jauh, yaitu menipisnya sumber dana bagi kegiatan sektor riil, termasuk sektor usaha kecil dan koperasi. Di lain pihak, bank-bank juga cenderung menanamkan dananya di pasar uang antar bank (PUAB) dan Sertipikat Bank Indonesia (SBI) daripada di sektor riil yang dipandang mengandung risiko kredit lebih tinggi. Begitu besarnya dampak negatif dari krisis ekonomi tersebut, sehingga berbagai permasalahan non-ekonomi yang sangat berat dan mendasar pun muncul dalam waktu yang relatif bersamaan.  Kerusuhan sosial telah menyebabkan berbagai kerusakan, baik di sektor produksi dan jaringan distribusi, yang berdampak pada memburuknya iklim usaha di Indonesia. Jaringan distribusi yang tidak sepenuhnya berfungsi, disertai dengan  panic buying telah menyebabkan munculnya ekspektasi masyarakat  akan kenaikan harga-harga secara berkelanjutan.  Kesemuanya itu selanjutnya telah menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat, domestic maupun internasional, terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sementara itu, prospek ekonomi di

kawasan lain, khususnya Amerika Serikat, sangat menjanjikan. Akibatnya, modal asing, yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia, keluar secara bersamaan dan dalam jumlah besar-besaran.

Ø Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter dan Perbankan

Upaya pemulihan ekonomi nasional telah ditempuh oleh Pemerintah melalui langkah-langkah kebijakan yang bersifat menyeluruh yang tidak hanya menyangkut program stabilisasi makroekonomi (kebijakan moneter dan fiskal) tetapi juga program reformasi  di bidang keuangan dan sektor riil.  Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian maka upaya  memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan, khususnya perbankan, menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan yang penting dalam proses kebangkitan (recovery) perekonomian secara keseluruhan. Di samping peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan menjalankan fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri perbankan yang umumnya sedang mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan. Hal ini mengakibatkan kebijakan moneter sering kurang efektif dalam mencapai sasaran.  Dengan kerangka yang demikian, sangatlah sulit dibayangkan format pemulihan perekonomian nasional melalui program stabilisasi ekonomi makro apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitanyang parah.

Untuk mengatasi dampak krisis,  apa yang dapat dilakukan segera adalah melakukan restrukturisasi perbankan. Rangkaian kebijakan  tersebut  diharapkan dapat kembali membangun kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap sistem keuangan dan perekonomian kita, mengupayakan agar perbankan kita menjadi lebih solvabel sehingga dapat kembali berfungsi sebagai lembaga perantara yang mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus meningkatkan efektifitaspelaksanaan kebijakan moneter. Dengan luasnya cakupan sasaran yang  akan dicapai tersebut, strategi umum yang banyak diterapkan di Asia, khususnya program-program ekonomi, bertumpu pada4 (empat) bidang kebijakan pokok:

1.  Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, yaitu kebijakan moneter yang ketat.6

2.  Di bidang Fiskal, ditempuh kebijakan fiskal yang lebih terfokus kepada upaya realokasi pengeluaran kegiatan-kegiatan yang tidak produktif kepada kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi ‘social cost’ yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi yang terjadi.

3.  Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance), ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik atau swasta. Termasuk di dalamnya upaya untuk mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya.

4.  Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang  akan memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem perbankan berupa restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis, dan menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang.

Program pemulihan ekonomi yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya jugabertumpu pada hal yang sama. Namun demikian, upaya penyehatan dan pemberdayaan sektor perbankan telah menyita perhatian yang jauh lebih besar khususnya dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya dari segi waktu dan tenaga yang dicurahkan tetapi juga dari segi biaya yang dikeluarkan. Hal ini karena krisis yang dialami oleh sector perbankan begitu mendalam, tidak hanya terjadi pada tingkat  individual bank tetapi telah merupakan krisis sistem perbankan secara umum.  Krisis ini dalam perkembangannya seperti yang kita saksikan bersama telah memperburuk kinerja perekonomian.  Dalam konteks inilah kita tempuh kebijakan perbankan yang komprehensif yang tidak saja diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi pada tingkat individual bank dan sistem perbankan, tetapi juga dapat mempercepat pemulihan kegiatan ekonomi nasional. Upaya pemberdayaan perbankan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat program,  yakni : (i) program rekapitalisasi bank-bank yang merupakan langkah strategis untuk memperbaiki permodalan bank; (ii) program restrukturisasi kredit yang akan sangat menentukan keberhasilan program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan ekonomi secara keseluruhan; (iii) program pengembangan infrastruktur perbankan untuk meningkatkan daya tahan bank-bank dalam menghadapi berbagai gejolak, antara lain rencana pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dan pengembangan bank syariah; (iv) program penyempurnaan pelaksanaan fungsi pengawasan bank.7

Keempat aspek dalam rangka restrukturisasi perbankan tersebut berjalan simultan, dan harus sudah selesai pada sekitar tahun 2001. Dengan demikian, kelemahan sistem perbankan yang selama ini menjadi sumber dari beratnya kerusakan ekonomi akibat krisis  akan berangsur-angsur hilang, diharapkan kita akan memiliki sistem perbankan yang mempunyai ketahanan yang tinggi. Untuk menjaga  sustainability kebijakan restrukturisasi perbankan, baik melalui penyehatan di sisi aktiva maupun pasiva, perlu disertai dengan restrukturisasi sisi operasional perbankan dan perbaikan ekonomi makro secara umum, termasuk sektor riil. Untuk itu diperlukan beberapa syarat yang perlu menjadi pemikiran, yaitu:
  1. Kondisi ekonomi makro yang stabil. Kondisi  ekonomi yang stabil merupakan persyaratan yang penting bagi terwujudnya kegiatan usaha bank yang sustainable. Dengan laju inflasi yang rendah, disertai oleh nilai tukar yang stabil, suku bunga dapat diharapkan untuk terus turun ke tingkat “normal”, sehingga bank-bank tidak lagi harus menanggung beban negative spread dan bahkan dapat memupuk keuntungan untuk memperkuat permodalannya.  Kestabilan  nilai tukar dan kestabilan tingkat harga juga pada dirinya memberikan kestabilan dan kepastian bagi usaha bank-bank.8
  1.   Dukungan dari program restrukturisasi dunia usaha.  Penyehatan usaha bank perlu didampingi oleh penyehatan sektor riil karena keduanya terdapat keterkaitan yang sangat erat. Dalam hubungan ini langkah-langkah yang dilakukan melalui program INDRA, Prakarsa Jakarta, maupun program restrukturisasi kredit bank-bank dengan prokarsa Bank Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dunia usaha, sehingga dunia usaha dapat mulai berkiprah kembali bersama-sama dunia perbankan
  2. Pembaharuan sistem hukum dan perundang-undangan serta sistem akuntansi. Perbaikan dari segi hukum dan akuntansi diharapkan untuk menciptakan transparansi dan kepastian usaha bank dengan tetap memberlakukan azas kehati- hatian.
  3. Penciptaan pasar yang efisien (Market and institutional deepening).  Penciptaan pasar yang efisien memungkinkan terciptanya fungsi intermediasi yang optimum dan efektivitas kebijakan moneter. Hal ini dilakukan antara lain melalui penciptaan sistem insentif yang cocok, yaitu berdasarkan mekanisme pasar.
  4. Tenaga-tenaga terlatih yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi untuk mengelola perbankan.  Sehubungan dengan itu, program-program pelatihan dan pembinaan,
serta program pengawasan bank yang efektif dan terus menerus untuk menjamin kualitas dari sumber daya manusia yang ada di perbankan merupakan hal-hal yang mutlak harus dilakukan. Pengalaman  di banyak negara menunjukkan bahwa diperlukan strategi restrukturisasi yang komprehensif yang tidak hanya menekankan pada upaya penyehatan aspek keuangan perbankan semata, tetapi juga memperhatikan konsistensinya dengan program pemulihan ekonomi makro. Melalui pendekatan yang komprehensif, telah dibuktikan bahwa restrukturisasi perbankan telah memberikan dampak positif bagi upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan laju inflasi. Hal ini dapat terjadi karena pemulihan fungsi intermediasi perbankan secara efektif meningkatkan kembali mobilisasi dana, merealokasi sumber keuangan secara lebih efisien dan mendorong penurunan tingkat bunga.  Dengan kondisi makroekonomi yang semakin terkendali tersebut, kepercayaan masyarakat dan investor secara berangsur-angsur diharapkan dapat pulih sehingga pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi kita.9

Ø Independensi Bank Indonesia Dalam Menetapkan Kebijakan Moneter

Disamping faktor efektivitas kebijakan, upaya stabilisasi dan reformasi ekonomi di sektor moneter-perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kewenangan Bank Indonesia dalam menetapakn kebijakan dimaksud. Sebagaimana diketahui, sebelum berlakukanya Undang undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah Undang- undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.  Dalam Undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya Bank Indonesia mengacu pada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah yang perumusannya dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal  ini mencerminkan kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab anatara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan Pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter dan perbankan.  Terbatasnya kewenangan Bank Indonesia tersebut berakibat pada kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh oleh
 
Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang berlangsung beberapa waktu lalu.  Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk memberikan kewenangan yang lebih tegas kepada Bank Indonesia dalam menajlankan fungsinya selaku otritas moneter. Untuk itulah, sejak tanggal 17 Mei 1999 Undang-undang No. 13 Tahun 1968 diganti Undang-undang No. 23 Tahun 1999. UU yang baru diwarnai oleh kuatnya nuansa “independensi” yang diberikan kepada Bank Indonesia. Hal ini menunjukkan  terdapatnya  keseriusan  dan  kesadaran bersama 

untuk memperkokoh fungsi dan peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Banyak  hal mendasar dalam UU Bl ini yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas Bank Indonesia sebagai bank sentral. Dalam UU ini dirnuat berbagai ketentuan/pasal yang memberikan dasar hukum yang kuat bagi independensi Bank Indonesia, seperti kedudukan dan status Bank Indonesia, tujuan dan tugas, penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, pengaturan dan pengawasan bank, pengaturan dan pemeliharaan kelancaran sistem pembayaran, akuntabilitas dan transparansi,  serta mengenai Pimpinan Bank Indonesia. Jiwa yang terkandung di dalam Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia ini adalah bahwa kestabilan moneter merupakan prasyarat mutlak bagi dapat terlaksananya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, bahwa  Bank Sentral perlu diberi tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kestabilan moneter tersebut , dan bahwa  tugas itu akan dapat terlaksana dengan10 baik hanya apabila Bank Sentral terbebas dari campur tangan pihak-pihak lain, termasuk Pemerintah.   Pandangan atau jiwa tersebut merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya sejak lama di dalam ilmu ekonomi, namun pelaksanaannya dimasa lalu banyak mengalami rintangan dari berbagai kepentingan politik dan lainnya.  Negara-negara yang menganut prinsip independensi bank sentral sejak lama, seperti Amerika Serikat dan Jerman,  telah membuktikan bahwa dengan independensi tersebut mereka telah dapat menjaga kestabilan moneter dengan lebih baik.  Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak negara, termasuk Indonesia, yang semakin menyadari pentingnya independensi bank sentral ini, dan berhasil merumuskan undang-undang yang menjamin independensi tersebut. Bagi Indonesia, pengalaman masa lalu sebetulnya memberikan landasan yang sangat kuat dan jelas bagi perlunya bank sentral yang independen.  Pengalaman pertama adalah pada waktu Orde Lama, di mana Pimpinan Bank Indonesia itu adalah Menteri Urusan Bank Sentral, yang  secara struktural harus melaksanakan program- program Pemerintah.  Pada waktu Pemerintah memerlukan  dana yang besar untuk menutup anggaran yang defisit, Bank Indonesia harus mencetak uang untuk itu dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, dan akibatnya sudah kita ketahui bersama.

Pengalaman kedua, yang semakin menyadarkan kita  akan pentingnya kestabilan moneter dan perlunya independensi bank sentral untuk mencapainya, adalah krisis yang baru saja kita alami.  Kesadaran  akan pentingnya kestabilan yang muncul dari nuansa krisis ini akan selalu melekat dalam pengkajian mengenai Undang-undang ini. Walaupun nantinya, krisis yang kita alami ini akan berlalu, saya berharap  bahwa kita tidak boleh lupa akan rangkaian proses yang bermuara pada krisis yang kita alami. Berbagai faktor yang menjadi pemicu krisis dapat terakumulasi selama bertahun- tahun tanpa kita sadari namun dampaknya dapat terjadi dengan sangat cepat dan dahsyat. Ini merupakan pelajaran yang sangat berharga yang 

menunjukkan bahwa kita tidak boleh lengah terhadap munculnya faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Undang-undang No. 23 tahun 1999 memang mengandung dua aspek penting yang sejalan dengan apa yang diuraikan terdahulu.  Aspek pertama adalah kebebasan atau  independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh dicampur- tangani oleh Pemerintah atau pihak-pihak lainnya.  Independensi yang diamanatkan Undang-undang ini merupakan upaya agar Bank Indonesia, sebagai penjaga gawang11 kestabilan perekonomian, tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan rupiah dalam kondisi politik yang dapat berubah.

Aspek kedua, tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.  Secara bersama-sama, aspek pertama dan aspek ke dua, di satu pihak bagi Bank Indonesia akan merupakan tuntutan yang demikian berat agar kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara terus menerus dan di lain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua pihak, termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim usaha untuk masa-masa yang akan datang dapat lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah. Bagi Bank Indonesia kedua aspek ini merupakan tuntutan yang harus dijawab dengan profesionalisme dan integritas personalia yang tinggi. Dengan melihat tugas Bank Indonesia yang diatur oleh Undang-undang yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi Bank, maka terdapat dua bidang yang harus ditangani oleh Bank Indonesia, yaitu kestabilan moneter  (monetary stability) dan kestabilan keuangan  (financial stability), yang keduanya saling terkait dan menunjang upaya mencapai kestabilan rupiah. Dengan demikian, penyelenggaraan tugas Bank Indonesia di masa yang  akan datang akan lebih diarahkan untuk memelihara sinergi dalam mencapai kestabilan moneter dan kestabilan finansial.  Kami sangat menyadari akan pentingnya kredibilitas,yang tercermin dari tingginya kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap kompetensi  Bank Indonesia, untuk dapat berhasil mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut. Oleh karena itu menjadi bank sentral yang kredibel dan disegani merupakan visi Bank Indonesia di masa yang akan datang. Undang-undang ini memberikan peluang lebih besar lagi kepada Bank Indonesia untuk melakukan tugasnya secara lebih profesional. Adanya independensi telah pula memberikan jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut dapat lebih difokuskan ke sasaran yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh kepentingan lain. Namun di sisi lain Bank Indonesia menyadari pula bahwa pelaksanaan independensi ini haruslah disertai pula dengan sikap yang bertanggung-jawab (accountability) yang didukung oleh keterbukaan (transparansi).  Untuk itu Bank Indonesia telah pula mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik.. Bank Indonesia  berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia senantiasa diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian.12

Disamping itu, secara internal pelaksanaan Undang-undang tentang Bank Indonesia ini perlu didukung oleh adanya individu-individu Anggota Dewan Gubernur dan pejabat Bank Indonesia yang mampu bersikap mandiri, yang tidak dipengaruhi oleh pergantian Pemerintahan.  Kemandirian invididu ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kemandirian Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan moneter.  Untuk menjaga kemandirian ini pula mekanisme penggantian dan pengangkatan Anggota Dewan Gubernur tidak dilakukan sekaligus tetapi secara berkala setiap tahunnya. Dengan demikian diharapkan Anggota Dewan Gubernur tidak terafiliasi pada kepentingan politik tertentu, karena penggantian dan pengangkatannnya, setelah disetujui DPR, belum tentu dilakukan oleh Presiden yang sama. Suatu hal yang perlu diketengahkan dan ditekankan dalam pembahasan mengenai independensi ini adalah bahwa didalam pelaksanaan independensi tersebut perlu disadari adanya  inter-dependensi diantara berbagai lembaga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan independensi Bank Indonesia dilakukan dalam suatu koridor pelaksanaan tugas bersama  sama dengan lembaga lain, khususnya dengan otorita fiskal. Pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang independen akan kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan pelaksanaan kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab, berdisiplin dan transparan. Dalam 

hubungan ini, visi Bank Indonesia berupa bank sentral yang kredibel dan disegani (respektabel) sangat penting agar saran dan pendapat mengenai kewenangan Bank Indonesia dapat dipahami oleh Pemerintah.
Undang-undang ini juga telah mengatur bentuk koordinasi antara Bank Indonesia dengan instansi lain melalui kehadiran Menteri lain dalam Rapat Dewan Gubernur, keharusan Kabinet mengikut-sertakan Gubernur Bank Indonesia dalam pembahasan- pembahasan yang terkait dengan moneter, dan lain sebagainya.

1.2 Peran BUMN dalam pemulihan ekonomi Indonesia
Ø  HISTORICAL BUMN

Pada awalnya BUMN adalah hasil nasionalisasi ex-perusahaan-perusahaan asing (Belanda) yang kemudian ditetapkan sebagai perusahaan Negara. Kemudian de-gan UU No. 1 Prp 1969 dibentuklah pembagian 3 jenis bentuk Badan Usaha Milik Negara menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Persero. Pembagian ini dibentuk sesuai dengan tugas, fungsi dan misi Usaha pada waktu itu.

Filosofi mengapa dibentuk Badan Usaha Milik Negara adalah karena berdasarkan pada bunyi ketentuan UU Pasal 33 khususnya ayat (2) dan (3) yang mengandung maksud bahwa; cabang-cabang produksi penting bagi Negara yang menguasai ha-jat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demkian tugas pertama Negara dengan membentuk badan usaha adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat, manakala sektor-sektor tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta. Kemudian tugas-tugas seperti itu diterje-mahkan sebagai bentuk “pioneering” usaha oleh Negara yang membuat BUMN menjadi agen pembangunan/agent of development.

Pemahaman BUMN sebagai agent of development berlanjut sampai dengan peri-ode tahun 80an, yang kemudian pemahaman tersebut membawa dampak “negatif/minir” karena fungsi kontrol terhadap BUMN dianggap sangat lemah, BUMN sebagai sarang korupsi dan lain-lain.

Pada periode akhir 80an, tepatnya 1989, manajemen BUMN dibenahi sekaligus di-luruskan kembali fokus usahanya serta ditata kembali pola reportingnya, yaitu den-gan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 741/1989 yang mewajibkan manajemen BUMN membuat laporan kerja dan laporan keuangannya sekaligus mempublikasikannya. Hal ini sebenarnya merupakan cerminan dari pemberlakuan program-program Good Corporate Governance, antara lain dengan mempublikasi-kan laporan keuangan berarti telah terjadi pembelajaran dan pendisiplinan BUMN terhadap pelaksanaan prinsip GCG

(keterbukaan) sekaligus pembelajaran penera-pan protokol Pasar Modal (capital market protocol) mulai pada waktu itu. Dengan penerapan prinsip-prinsip GCG, sekaligus terkandung maksud untuk dapat memisahkan fungsi kepemilikan dan fungsi sebagai regulator. Hal ini bila tidak di-pahamkan tentang pemisahan fungsi dimaksud akan membawa akibat adanya intervensi-intervensi yang dimulai dari pemilik kemudian akan diikuti oleh pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan.

Ø   SEKTOR USAHA BUMN

Pada dasarnya sektor-sektor usaha yang dilakukan oleh BUMN mencakup hampir seluruh sektor dan bidang usaha yang ada dimana didalamnya terdapat 11 kelom-pok besar sektor, yaitu;
  • Agro Industri;
  • Telekomunikasi;
  • Semen, konstruksi dan Konsultan Engineering;
  • Pertambangan;
  • Energi;
  • Logistik;
  • Pariwisata;
  • Kehutanan dan Kertas;
  • Jasa Keuangan;
    • Industri Startegis;
    • Jasa Penunjang Pertanian

Dari sektor tersebut terbagi lagi menjadi sub-subsektor seperti Jasa Keuangan dapat dibagi menjadi Jasa Keuangan Perbankan dan Jasa Keuangan Non Perbankan (misalnya Asuransi), demikian juga terhadap sektor logistik yang dapat dibagi men-jadi bidang transportasi, penunjang transportasi (misalnya Bandara, pelabuhan), Ka-wasan Industri, Dok Perkapalan dlsb.
Luasnya sektor dan bidang usaha yang dilakukan oleh BUMN mengesankan bahwa semua sektor usaha menjadi monopoli badan usaha Negara. Dari kajian yang kami lakukan, sebaiknya Pemerintah bertahan pada pengelolaan dibidang yang me-menuhi kriteria dibawah ini
  • Amanat pendiriannya oleh Peraturan Perundangan
  • Mengemban tugas Public Service Obligation
  • Terkait dengan Keamanan Negara
  • Melakukan konservasi alam/budaya
  • Berbasis sumber daya alam
  • Padat karya
  • Penting bagi stabilitas ekonomi/keuangan Negara
Selanjutnya dari kajian tersebut dicoba untuk mengkategorikan sektor-sektor dan bi-dang apa saja yang masih tepat dilakukan oleh BUMN, apakah sektor-sektor yang masih sangat kompetitif, pelaksana layanan publik, atau yang strategis, lalu bagai-mana dengan sifat bisnisnya apakah sudah sunset (tidak memiliki prospek) atau sifat usaha yang telah banyak dilakukan oleh pihak swasta, bahkan bila dilaksakan oleh swasta justru dapat lebih efisien?
Bila demikian halnya perlu dicarikan solusi terhadap sektor/bidang usaha apa saja yang tepat dikelola/dilakukan oleh BUMN yang juiga mengacu pada ketentuan pasal 33 UU 1945 dimaksud dalam kriteria kriteria diatas.

Ø KINERJA BUMN

Saat ini BUMN berjumlah 139 yang dalam pelaksanaan tugasnya masih memerlu-kan beberapa perbaikan-perbaikan sistem manajemennya untuk mengangkat kiner-janya. Perangkat perbaikan tersebut termasuk untuk menciptakan kontrol sistem, oleh karenanya sejak tahun 2002 diwajibkan bagi seluruh BUMN untuk menerap-kan program GCG yang kemudian diikuti dengan penerapan program-program lain yang dapat menunjang kinerjanya seperti penerapan program Risk Management yang gencar diwajibkan sejak awal 2006 ini, selain beberapa BUMN yang bergerak di bidang industri-industri penting seperti Telkom, PLN, Perbankan dan Industri-industri berbasis teknologi tingggi telah lebih dulu menerapkan program Risk Man-agement ini. dengan melaksanakan program-program tersebut perangkat-perangkat korporasi lainnya yang juga perlu ditingkatkan adalah kualitas manaje-men/sumber daya manusia agar lebih mempunyai visi pada orientasi bisnis dan berani mengambil keputusan-keputusan bisnis, sehingga paradigma BUMN secara simultan dapat diubah, termasuk mindset manajemen, karyawan dan sistem teknologinya juga (perlahan) harus dilakukan perombakan.


Hingga saat ini dengan upaya-upaya yang telah dilakukan nyatanya membawa peruba-han, lebih nampak pada indikasi meningkatnya jumlah BUMN yang bertambah sehat dan berkurangnya BUMN rugi. Selain perusahaan-perusahaan yang dapat menunjukan peningkatan kinerja dari sisi perolehan laba, tentunya dapat dibuktikan dari sisi Negara yang memperoleh Dividen selaku pemegang saham, dan pajak, tidak tertutup pula sumbangan retribusi daerah.
Kemudian dari sisi pasar modal, dapat dikatakan bahwa BUMN adalah salah satu indikator tentang dinamisnya perdagangan saham dan obligasi di bursa efek, dimana 12 BUMN yang listed saham di bursa (12 BUMN) mencapai 36.8% pada tahun 2004, dan 34.2% pada tahun 2006 dari nilai transaksi perdagangan di bursa, dengan total kapitalisasi pasar BUMN sejak 2001 s/d 2006 mencapai ± Rp.273 Trilliun. Belum lagi bila dihitung dengan atraktifnya perdagangan obligasi yang di-issued oleh BUMN.

Ø KEBIJAKAN YANG AKAN DITEMPUH

Namun patut kita cermati, bahwa kinerja yang tergambar tersebut tidak tersebar se-cara merata di semua BUMN. Jika kita urutkan BUMN berdasarkan angka har-ta/aset, ekuitas, penjualan, dan laba bersih, kemudian kita pilih BUMN yang memiliki setidaknya 3 figur yang termasuk 25 terbesar pada kategorinya, maka akan kita da-patkan 22 BUMN yang memenuhi kategori ini dan bisa kita katakan sebagai BUMN terbesar, dimana 8 diantaranya adalah BUMN Tbk. Bila dibandingkan dengan jum-lah agregat seluruh BUMN, maka 22 BUMN ini memiliki 92.21% aset, 92.64% ekui-tas, 87.16% penjualan dan 91.78% laba bersih, atau dengan kata lain dari 139 BUMN yang kita miliki, 117 BUMN diantaranya hanya memiliki proporsi kurang dari 10% terhadap keseluruhan BUMN. Hal ini mengimplikasikan adanya kinerja yang ti-dak optimal pada sebagian besar BUMN dan urgensi pertimbangan mengenai jum-lah dan besaran BUMN yang ideal (rightsizing policy).
Kebijakan rightsizing BUMN akan ditempuh dengan melakukan merjer/konsolidasi, holding, maupun privatisasi sehingga pada tahun 2009 jumlah BUMN diharapkan akan menjadi 89 dan selanjutnya menjadi 25 pada tahun 2020, yang diharapkan merupakan ukuran yang ideal sehingga kita mampu memiliki BUMN dengan daya saing tinggi dan merupakan pemain utama di pasar internasional.
Kebijakan rightsizing ini merupakan bagian dari upaya profitisasi BUMN yang mengacu pada pemetaan BUMN dengan membagi BUMN menjadi 2 kelompok yaitu BUMN yang menjalankan fungsi public service obligation (PSO) dan BUMN komer-sial. Pengelompokan tersebut sangat penting agar masing-masing BUMN tersebut benar-benar memperoleh penanganan yang tepat.

Tidak kalah pentingnya adalah Revitalisasi BUMN melalui restrukturisasi sektoral dengan memperhatikan peraturan/perundangan yang ada dan restrukturisasi peru-sahaan melalui penerapan key performance indicator (KPI) dan GCG secara konsis-ten. Melalui restrukturisasi sektoral tersebut, diharapkan setiap kebijakan yang di-ambil oleh Kementerian Negara BUMN akan sejalan dengan kebijakan dari depar-temen teknis. Di samping itu, melalui penerapan KPI dan GCG secara konsisten, di-harapkan akan tercapai BUMN yang terfokus, memiliki core competence, well per-formed dan well managed serta menjadi champion di bidangnya.

Bahwa keberadaan BUMN memberikan pula efek mutiplier selain sebagai dinamisa-tor pasar mengingat tugas dan fungsi BUMN selain berorientasi kpd laba dan laya-nan umum, juga menjadi katalisator terhadap pertumbuhan ekonomi di level me-nengah kecil. yaitu dapat dibuktikan dengan kepesertaan BUMN terhadap pembina-an dan pemberian pendampingan bimbingan/bantuan teknis kepada UKM-UKM yang merupakan mitra binaannya. Efek multiplier tersebut tentunya akan berdampak pada pertumbuhan industri/ekonomi, selain penyiapan lapangan pekerjaan bagi ma-syarakat. sebagaimana diketahui 139 BUMN memiliki total nilai aset sebesar RP. 1300 Triliun, ternyata dalam pelaksanaannya masih dirasakan adanya kekurangan-kekurangan, antara lain apabila dillihat dari sisi efisiensi tenaga kerja yang ada. Pada dasarnya jumlah tenaga kerja yang ada pada BUMN-BUMN bisa dikatagori-kan overstaffing. Namun bila kita memperhatikan amanah dari UUD 1945, tersirat bahwa Negara perlu menyediakan cukup lapangan pekerjaan bagi warganya, oleh karenanya BUMN-BUMN sebagai suatu badan usaha yang dimiliki Negara
sekaligus sebagai alat produksi tentunya harus mempertimbangkan tentang penampungan te-naga kerja. Sehingga efisiensi tenaga kerja di BUMN ada anggapan tidak/bukan menjadi sorotan utama dikaitkan dengan performa kinerja perusahaan.

Ø MODEL UNTUK MENUNJANG PERTUMBUHAN EKONOMI

Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya” maka Kemente-rian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN kedepan yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan. Untuk meningkatkan kon-tribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-BUMN yang memiliki potensi bisnis mau-pun pelayanan, dalam besaran dan struktur organisasi yang sesuai.

Untuk mencapai besaran dan struktur yang sesuai, rightsizing policy akan diwujud-kan dalam kategorisasi BUMN dalam 5 (lima) bentuk atau jenis tindakan, yaitu;

(1) Stand Alone
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
  • Market share cukup signifikan dan mengandung unsur keamanan;
  • Single player atau masuk sebagai pemain utama;
  • Belum memiliki potensi untuk dimerger ataupun holding; dan
  • Keberadaannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku & umumnya captive market.
(2) Holding
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
  • Sektor usahanya sama
  • Jenis usaha dan segmen pasar berlainan
  • Kompetisi tinggi
  • Masih ada prospek/ bisnis prospektif
  • Pemerintah merupakan pemilik mayoritas
(3) Divestasi
Divestasi merupakan tindakan pemegang saham (shareholder’s action), yang se-lalu mempertimbangkan unsur cost & benefit, sebagaimana pemegang saham pada persero yang lain. Namun, karena tindakan divestasi ini dikaitkan dengan kepemilikan Badan Usaha Milik Negara, maka Divestasi hanya dapat dilakukan pada BUMN yang memiliki kriteria berikut ini;
  • Berbentuk Persero.
  • Berada pada sektor usaha atau industri yang kompetitif atau unsur teknologinya cepat berubah.
  • Bidang usahanya menurut undang-undang tidak secara khusus harus dikelola oleh BUMN.
  • Tidak bergerak di sektor pertahanan dan keamanan.
  • Tidak mengelola sumber daya alam yang menurut ketentuan perundang-undangan tidak boleh diprivatisasi.
  • Tidak bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
  • Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal apabila privatisasi dilakukan melalui pasar modal.
Termasuk pula dari tindakan divestasi, meliputi pula tindakan privatisasi. Bahwa tindakan privatisasi selain akan memperlihatkan kesiapan dan performa kinerja perusahaan yang membaik yang kemudian mempunyai suatu nilai (value ) yang tinggi, maka perusahaan-perusahaan yang baik tersebut diberikan kesempatan kepada khalayak/masyarakat dan instansi (Pemda) untuk turut menikmati BUMN dengan cara memiliki saham Perusahaan. Dengan demikian pengertian priva-tisasi tentang penjualan aset kepada asing sebenarnya hanya terkait dengan masalah privatisasi dengan metode Initial Public Offering (IPO) tentunya meng-gunakan suatu mekanisme pasar yang tidak bisa dikontrol investor-investornya.
Demikian pula sebaliknya, bagaimana perlakuan terhadap BUMN yang usa-hanya sudah sunset (yang potensi perkembangan usahanya sudah turun) bila-mana Pemerintah akan bertindak sebagai regulator?. Seperti misalnya pada kegiatan BUMN di bidang usaha penerbitan dan perdagangan buku, termasuk pula usaha pergedungan dan pertokoan, dimana sektor swasta lebih maju dan lebih efisien mengelolanya, apakah negara masih layak untuk memiliki dan mengelola BUMN tersebut.

(4) Merjer dan Konsolidasi
Dalam rangka penguatan sinergi antar-BUMN, tindakan merjer dan konsolidasi menjadi pertimbangan, apabila memenuhi kriteria berikut ini;
  • Jenis usaha dan segmen pasar sama
  • Kompetisi tinggi
  • Mayoritas saham dimiliki Pemerintah
  • Kinerja tergolong kurang baik
  • Going concern diragukan, namun masih memiliki potensi untuk digabung dengan BUMN lain.
(5) Likuidasi
Tindakan pemegang saham untuk melakukan likuidasi, tentunya setelah me-menuhi pertimbangan dan kajian tentang cost & benefit dari usaha tersebut, meliputi;
  • Tidak ada PSO – non “Strategis” (tidak harus dipertahankan status BUMN)
  • Dalam beberapa tahun mengalami kerugian terus-menerus
  • Kompetisi usaha tinggi
  • Eksternalitas rendah
  • Usahanya tidak prospektif
  • Ekuitas negatif
Selain pertimbangan diatas, tentunya cost & benefit tersebut sudah meliputi pen-ghitungan tentang biaya likuidasi (cost of liquidation) harus lebih kecil dari biaya apabila perusahaan tetap dioperasikan.

Ø KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI
  • Dari sisi hukum;
Perlu mendapatkan suatu kejelasan mengenai pengertian “dikuasai” sebagai-mana termaktub dalam ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, apakah yang dimaksud seluruhnya dimiliki dan dikelola oleh Negara, atau dimiliki tetapi dapat tidak dikelola oleh Negara, atau tidak perlu memiliki dan tidak perlu mengelola tetapi cukup mempunyai kewenangan dalam hal pengaturan (regu-lasi).
Selain itu, dengan telah ditetapkannya UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam pasal 4 (1) dan penjelasannya telah ditegaskan bahwa modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Ne-gara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Lebih lan-jut terdapat pengaturan dalam PP No. 33 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa penyelesaian piutang BUMN diselesaikan dengan mekanisme korporasi yang di-dasarkan pada pengertian piutang Negara dalam UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dimana dalam UU tersebut tidak lagi dimasukkan pen-gertian piutang BUMN sebagai bagian dari piutang Negara.
Dari hal diatas, pengertian sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3) diatas, belum memiliki definisi yang seragam tentang arti “dikuasai” dan “cabang-cabang produksi penting” seperti apa. Kemudian terhadap pemahaman tentang kekayaan Negara yang dipisahkan, perlu mendapatkan pemahaman se-cara meluas bahwa modal yang telah dipisahkan untuk pendirian suatu BUMN bu-kan lagi kategori kekayaan Negara.
  • Dari sisi perusahaan;
Bahwa perlu disadari fungsi dan tugas utama BUMN tidak hanya sekedar mem-peroleh keuntungan saja, yang kemudian diukur hanya dengan adanya peningkatan RoA, RoE, RoI saja, tetapi juga mengemban beberapa tugas yang lebih bersifat makro, seperti menjaga stabilitas ekonomi/harga, dan untuk memenuhi sifat penu-gasan layanan publik atau agent of development serta pioneering. Sehingga menge-lola BUMN tentunya juga harus dapat memahami kepentingan-kepentingan stakeholdernya. Dengan demikian, seharusnya dari sisi regulasi untuk kepentingan pelaksanaan usaha BUMN khususnya yang mengemban tugas layanan umum perlu diatur dengan suatu regulasi yang lebih mendukung pada BUMN.

Kemudian, dalam rangka pengembangan usahanya perlu adanya pemikiran men-genai kebijakan tentang dividen perlu lebih mempertimbangkan kepentingan- kepentingan perusahaan dalam rangka investasinya, karena apabila kebijakan divi-den selalu untuk kepentingan APBN semata tentunya akan mengurangi kemampuan perusahaan dalam rangka pengembangan dan kelangsungan usahanya (sustain-ability).
Demikian pula, gaya manajemen BUMN yang ada perlu dilakukan perubahan para-digmanya (mind set), bahwa paradigma baru menghendaki adanya suatu inovasi dan terobosan bisnis yang harus dilakukan tanpa harus menciptakan birokrasi yang berbelit, namun harus tetap mengutamakan prinsip governance. Untuk mendukung perubahan paradigma baru tersebut dalam pengadaan manajemen BUMN yang dit-erapkan saat ini sudah menggunakan metode fit & proper test yang melibatkan pula pihak independent assessor, yang dalam pelaksanannya diikat dengan Statement of Corporate Intent (SCI) sebagai acuan komitmen manajemen dalam peningkatan kinerjanya, yang akan diukur dalam kinerjanya dengan Key Performance Indicator (KPI) yang disepakati bersama dan dituangkan dalam suatu Kontrak Manajemen.

Penutupan
Dari uraian di atas jelas masih ada masa depan bagi perekonomian Indonesia.
Keberhasilan dan kegagalan yang dialami selama ini adalah pengalaman yang sangat berharga
untuk dijadikan pelajaran dalam membangun masa depan yang lebih baik.  Untuk mencapainya,
yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah kepemimpinan yang memiliki visi yang kuat dan
didukung oleh seluruh rakyat Indonesia.  Selain itu berbagai upaya perlu dilakukan agar secara
bertahap kita dapat mengatasi masalah-masalah yang kita rasakan  demikian beratnya sekarang ini. 
Yang pertama adalah upaya kebijakan moneter dan perbankan oleh pemerintah untuk menstabilkan kondisi ekonomi di Indonesia yang akan menjadi faktor vital. Faktor ini yang akan menjadi “aktor” penting dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia, tapi bila tidak di dukung antara pemerintah dengan masyarkat, upaya ini akan berjalan lambat.
Kedua adalah kebijakan idependensi dari Bank Indonesia, dimana kekuatan Bank Indonesia bertambah setelah idependensi oleh pemerintah tahun 1999. Sehingga Bank  Indonesia ikut andil dan fokus dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia walaupun dalam kondisi apapun yang terjadi di Indonesia.
Ketiga adalah peran BUMN dalam berbagai sektor maupun sub sektor yang mendukung akan upaya pemulihan ekonomi Indonesia, baik dalam bentuk kebijakan maupun bentuk lainnya untuk pemulihan ekonomi Indonesia.


Daftar pustaka :
di akses pada hari minggu tanggal 18 – 03 – 2012 pada jam 15.45.